Eperdument Amoureux, Paris


     Pagi itu saya tengah dalam perjalanan dari kota Barcelona menuju kota Paris. Kereta TGV berkecepatan tinggi membawa diri saya seorang diri. Saya menggenggam kuat buku bacaan dan paspor serta tiket kereta di tangan saya. Mata awas melihat kondisi sekitar dan telinga saya pasang baik-baik mendengar pengumuman dari masinis kereta. Saya sedikit paranoid dengan bepergian seorang diri, sekalipun saya suka, mengingat kemampuan navigasi arah yang sangat buruk dan tidak bisa diandalkan, sekalipun saya berusaha kuat.

Barcelona – Paris. 01 September, 2012.

     Sekian jam berlalu, saya mulai bisa santai menikmati pemandangan di luar kereta. Perjalanan dari Barcelona menuju Perancis ini melewati bagian selatan dari Perancis. Southern France! Tempat yang selalu menempati porsi besar di hati saya sebagai tempat yang ingin saya datangi. Terlihat dari dalam kereta jalan-jalan kecil yang dipeluk hangat oleh lautan mediterania. Tampak juga perahu-perahu kecil bersandar di dermaga ditiup angin musim panas dan berkas cahaya matahari yang terpantul kesana kemari.
            
     Kereta berhenti sejenak di sebuah stasiun entah berantah. Terlintas di kepala untuk mengubah rencana perjalanan dan turun di stasiun ini, terbujuk lanskap kota di selatan Perancis. Impulsif. Tiba-tiba seorang gadis muda di depan saya menyeletuk,

      “I’ve been visiting Paris since I was 12 years old. Perhaps it is more than five or six times I visited Paris. But never visited Bucharest, my own capital city. Even once.” Kami sempat berkenalan di awal perjalanan tadi. Gadis ini berusia 25 tahun, asal Romania, tengah dalam perjalanan yang sama ke kota Paris.

     “No you’re kidding me.” Sahutku tidak percaya.

     “Really. Just because I hate my country at all. I hate the fact I was born in Romania.” Tegas wanita itu sambil menlanjutkan alasan-alasan mengapa dia sangat membenci negaranya, sampai tak sudi pergi ke kota apapun di Romania selain kota kelahirannya.

     Aku menggangguk seolah setuju mendengar cerita-ceritanya. Kereta pun kembali melanjutkan perjalanan.

Aku tidak pernah percaya ada benci yang terlalu. Sama halnya dengan tidak ada cinta yang terlalu.”

***

Gare du Nord. 01 September 2012.

     Tiba di Paris. Kota cinta, kata mereka. Entah siapa yang pertama kali menjuluki demikian. Saat itu langit sudah sore. Musim panas membara Barcelona digantikan dinginnya angin kencang kota Paris. Saya mencari tempat duduk, mengeluarkan sweater dari tas dan memulai menyusun strategi bagaimana mencapai hostel.

“Love (noun); A strong feeling of affection.” – Oxford Dictionary


Tepi sungai Seine, 02 September 2012

     Kami memilih salah satu tempat di tepi sungai Seine untuk menyantap bekal makan siang kami. Sepotong baguette, roti sarden kalengan dan saus mayonaise yang dibeli di supermarket sebelumnya saya campur menjadi satu dan saya lahap. Makan siang di tepi sungai Seine dibalut obrolan hangat tiga teman perjalanan kesayangan saya, Candrika, Mira dan Cileng, siang itu. Sungguh momen makan siang yang tidak boleh saya lupakan seumur hidup saya.




      


     Tampaknya saya mulai mengerti. Mereka menemukan cinta pada lembutnya aliran sungai Seine, pada hangatnya langit biru, pada berkas-berkas cahaya yang memantul di pyramid Muse du Louvre, pada gerak-gerik lihai tangan pelukis yang berdiri serius menatap pahatan patung di dinding gereja Notre Dame, pada setiap tegukan bir di teras café sepanjang jalan bahkan pada daun-daun oranye yang berserak  di taman-taman kota. Ya, saya yakin mereka dapatkan cinta di sana.

"Affection (noun); A gentle feeling of fondness or liking." -Oxford Dictionary

Pont des Arts, September 2012

     Mungkin ada ribuan gembok cinta yang terkunci pada jeruji jembatan pelengkung Pont des Arts. Konon katanya pemerintah kota Paris harus melepas ribuan gembok dan mengeruk kunci dari dasar sungai Seine setiap dua hari sekali. Sungguh, segitu banyak kah cinta di kota ini?



   
      Saya dibuatnya mengingat sebuah film Perancis yang bercerita tentang betapa tidak bahagianya mereka tinggal di kota Paris. Betapa mereka menyesali hidup di kota itu. Orang yang hidup kota cinta adalah orang yang paling tidak merasakan cinta.

     Pada akhir abad 18, Alexandre Gustave Eiffel yang merancang dan membangun menara Eiffel menuai banyak kritik dari masyarakat Paris dan berbagai kalangan pelaku seni. Mereka menolak pembangunan tiang besi raksasa yang menurut meraka merusak keindahan kota Paris. Seorang penulis berkebangsaan Perancis, Guy de Maupassant, selalu menghabiskan waktu makan siang di sebuah restaurant yang ada di menara Eiffel karena tempat itu satu-satunya tempat di mana Ia bisa makan siang tanpa harus melihat menara Eiffel. Namun kini menara Eiffel telah menjadi icon kota Paris yang mendunia.


“Sungguh tak boleh ada benci yang terlalu. Begitu pun dengan cinta yang terlalu.”
***

     
     Malam di Paris kami habiskan dengan duduk di salah satu jembatan sungai Seine. Memandang lampu-lampu yang menghiasi tepi jembatan. Tampak kapal-kapal pesiar yang menyajikan makan malam di dalamnya. Malam mulai beranjak, kami mencari restauran setempat yang menyajikan masakan lokal. Kami sudah berjanji bahwa sesampainya di Paris harus pernah mencicipi salah satu old French dish. Scallops yang dimasak dengan anggur putih adalah pilihan yang tepat. 

     Malam masih panjang, kami kembali menyusuri kota Paris di malam hari. Melewati toko buku Shakespare and company yang sedang menggelar acara bedah buku tertutup, café-café di pinggir jalam, Notre Dame di malam hari dan kembali ke menara Eiffel. Malam kami tutup dengan duduk memandang permainan lampu dari Eiffel sambil menegak sebotol Sangria yang saya bawa dari Spanyol.

 


     Tiga tahun berlalu, kenangan akan kota Paris kembali menyeruak melihat ramai berita serangan teror di kota Paris. Sedih. Sampai-sampai saya berusaha apatis dan menjauh dari berita itu. Berusaha sekuat mungkin untuk tidak ikut asal komentar dan menghakimi atau mengutuki apapun tentang berita itu. 

     Hanya saja kini meninggalkan sedikit pergumulan dari pikiran dingin saya, "Ternyata cinta yang terlalu pun dapat merusak, tak jauh bedanya dengan benci yang terlalu." Karena cinta yang terlalu, seseorang (atau sekelompok) dapat berbuat hal yang menyakiti diri sendiri dan orang lain. Terlepas dari itu, benarkah ada kota yang penuh cinta? And how to find one?
But the thing a lot of people love most about a city is what happens in between all of that.




You may also like

No comments: